cheriscafe.com – Di tengah hiruk-pikuk pasar malam Kamboja, aroma minyak panas bercampur rempah yang khas menyambut para pengunjung. Bukan sate atau sup, tapi sesuatu yang lebih berani: tarantula goreng renyah yang digantung di keranjang bambu. Hidangan ini, dikenal sebagai a-ping dalam bahasa Khmer, bukan sekadar camilan aneh bagi wisatawan petualang. Ia adalah simbol ketangguhan bangsa Kamboja, lahir dari masa kelaparan mengerikan era Khmer Merah pada 1970-an. Hari ini, tarantula goreng telah berevolusi menjadi ikon kuliner jalanan, menarik jutaan perut penasaran dari seluruh dunia. Dengan rasa seperti ayam pedas dan tekstur krispi mirip kerupuk, hidangan ini membuktikan bahwa makanan bisa menjadi cerita sejarah yang lezat.
Sejarah Kelahiran: Kelangsungan Hidup di Tengah Tragedi
Praktik memakan tarantula di Kamboja bukanlah tradisi kuno, melainkan respons darurat terhadap krisis kemanusiaan terburuk. Pada 1975-1979, rezim Khmer Rouge di bawah Pol Pot memaksa jutaan orang ke pedesaan untuk kerja paksa, menyebabkan kelaparan massal yang menewaskan hampir seperempat populasi Kamboja. Makanan langka, dan orang-orang terpaksa mencari sumber protein apa pun yang tersedia. Tarantula jenis Thai Zebra (Cyriopagopus albostriatus), atau a-ping dalam Khmer—seukuran telapak tangan manusia—melimpah di hutan dan gua-gua Kamboja. Mudah ditangkap dengan tongkat atau tangan kosong, laba-laba raksasa ini digoreng utuh untuk menghilangkan racunnya, menjadi penyelamat bagi banyak keluarga.
Setelah jatuhnya Khmer Rouge pada 1979, kebiasaan ini tak hilang begitu saja. Malah, ia bertahan sebagai warisan budaya, simbol adaptasi dan ketahanan. Di desa-desa seperti Skuon (75 km utara Phnom Penh), yang dijuluki “Spiderville”, penangkapan dan penggorengan tarantula menjadi mata pencaharian utama. Hingga kini, ribuan laba-laba ditangkap setiap hari, terutama dari provinsi Kampong Cham, dan dijual seharga sekitar 300 riel (kurang dari Rp1.200) per ekor. Praktik ini bahkan meluas ke obat tradisional: wanita Khmer percaya a-ping bisa membuat kulit cantik berkat kandungan nutrisinya.
Cara Persiapan: Resep Sederhana yang Berbahaya
Membuat tarantula goreng tak serumit kelihatannya—hanya butuh 10 menit dari tangkapan hingga piring. Pemburu, biasanya pria lokal, menggali sarang di hutan pagi hari, menggunakan obor untuk mengusir laba-laba yang agresif. Di pasar, vendor membersihkan rambut halusnya dengan api kecil untuk menghindari iritasi mulut.
Resep dasar ala Skuon:
- Bumbu: Celupkan tarantula hidup ke campuran garam, gula, bawang putih cincang, dan MSG (kadang ditambah bumbu ayam atau lada hitam untuk varian modern).
- Goreng: Rendam sebentar dalam minyak panas (sekitar 180°C) selama 45-60 detik hingga kulitnya mengeras dan berwarna keemasan. Bagian kaki jadi renyah seperti keripik, sementara perut lunak seperti telur rebus.
- Sajian: Taburi gula pasir atau bawang goreng, lalu hidangkan dengan bir dingin atau arak beras. Saus celup jeruk limau dan lada hitam sering disarankan untuk pemula.
Peringatan: Hindari menggigit kepala langsung—racunnya aman setelah digoreng, tapi gigi bisa lecet oleh rahangnya. Kelas memasak di Siem Reap, seperti di sekolah Khmer Rouge, memungkinkan wisatawan mencoba sendiri, sambil belajar cerita di balik hidangan ini.
Nilai Gizi: Protein Superfood dari Delapan Kaki
Jangan remehkan tarantula sebagai camilan sampah. Menurut penelitian Universitas Kopenhagen, satu ekor tarantula goreng (sekitar 20-30 gram) menyediakan:
- Protein tinggi: 50-60% kandungan, setara dada ayam tanpa lemak—ideal untuk atlet atau vegetarian petualang.
- Asam folat dan zinc: Membantu sistem kekebalan dan kesehatan kulit, menjelaskan mitos kecantikan Khmer.
- Mineral lain: Besi, kalsium, dan lemak sehat, dengan kalori rendah (sekitar 100-150 kcal per porsi).
Dibandingkan serangga lain seperti belalang, tarantula unggul dalam ukuran dan rasa netral, membuatnya jadi “superfood” berkelanjutan. FAO (Badan Pangan PBB) bahkan mempromosikan serangga sebagai solusi pangan masa depan, dan a-ping jadi contoh sempurna.
Signifikansi Budaya: Lebih dari Camilan, Ini Identitas Bangsa
Bagi orang Kamboja, tarantula goreng bukan makanan aneh—ia adalah kebanggaan nasional. Di pasar Skuon, vendor berkerudung anyaman menawarkan tray penuh sambil bercerita tentang nenek moyang yang selamat berkat laba-laba ini. Hidangan ini merayakan resiliensi: dari makanan darurat menjadi atraksi turis yang mendukung ekonomi lokal, dengan pendapatan harian pedagang mencapai US$20-50—jauh di atas upah rata-rata Kamboja.
Turis sering membandingkannya dengan film horor, tapi bagi lokal, ini camilan manis seperti kue untuk anak-anak. Restoran seperti Romdeng di Phnom Penh (yang mempekerjakan anak jalanan) menyajikannya secara higienis, lengkap dengan cerita Khmer Rouge. Di media sosial, #FriedTarantula jadi viral, tapi di baliknya, ada kekhawatiran: deforestasi dan overharvesting mengancam populasi tarantula, mendorong upaya konservasi seperti peternakan berkelanjutan.
Tantangan Global: Dari Kamboja ke Dunia
Di luar Kamboja, tarantula goreng muncul sporadis. Di Meksiko, pernah dicoba dalam taco dengan guacamole, tapi dilarang karena regulasi hewan liar. Festival makanan aneh di AS atau Eropa kadang menampilkannya, tapi tak sepopuler di tanah asalnya. Bagi wisatawan, ini ujian nyali: mulai dari kaki renyah untuk pemula, lalu badan lembut untuk berani. Banyak yang ketagihan, bilang rasanya seperti “cumi kalamari dengan sentuhan manis”.
Namun, di tengah popularitas, ada seruan etis. Apakah kita boleh “mengonsumsi” sejarah Kamboja demi foto Instagram? Jawabannya: Ya, asal hormati akarnya—beli dari vendor lokal, dengar ceritanya, dan ingat bahwa setiap gigitan adalah penghormatan pada para penyintas.
Fried tarantulas membuktikan bahwa makanan bisa mengubah narasi: dari horor menjadi harapan. Jika berkunjung ke Kamboja, jangan lewatkan—siapa tahu, delapan kaki itu justru jadi favorit baru Anda. Selamat mencoba, dan ingat: di dunia kuliner, tak ada yang tak bisa digoreng!
